Kaidah Ke-65 : Mengamalkan Dua Dalil Sekaligus Lebih Utama
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ke Enam Puluh Lima
إِعْمَالُ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا مَا أَمْكَنَ
Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunya selama masih memungkinkan
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjelaskan patokan yang harus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Maka sikap kita adalah menjamak dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan. Karena keberadaan dalil-dalil itu untuk diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali berdasarkan dalil yang lain. Jadi hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut.
CARA MENYIKAPI PERTENTANGAN DALIL
Apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya.
Pertama, Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhusukan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Jika tidak memungkin, maka berpindah ke alternatif
Kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhir lalu kita jadikan sebagai nâsikh (penghapus) kandungan dalil yang datang lebih awal. Jika tidak memungkinkan juga, maka kita menempuh alternatif
Ketiga, yaitu kita mentarjîh dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat.[1]
Alternatif pertama lebih didahulukan daripada alternatif kedua karena dengan menjamak berarti dua dalil tersebut telah diamalkan dalam satu waktu. Ini lebih utama daripada mengamalkan dua dalil tersebut dalam waktu yang berbeda. Kita mendahulukan alternatif kedua daripada alternatif ketiga karena an-naskh sebenarnya juga mengamalkan dua dalil tersebut hanya saja bukan pada waktu yang bersamaan, tetapi pada waktu yang berbeda. Dalil yang dimansûkh (dihapus hukumnya) diamalkan sebelum naskh, dan dalil yang menghapus diamalkan setelah naskh. Jadi, dalil yang mansûkh tidak ditinggalkan secara mutlak, ia diamalkan pada waktunya sebelum dinaskh karena ia juga dalil shahih. Adapun tarjîh maka hakikatnya adalah membatalkan salah satu dalil secara utuh dan diyakini tidak boleh diamalkan mutlak, tidak pada masa silam ataupun sekarang. Oleh karena itulah para Ulama’ menjadikannya alternatif setelah an-naskh.[2]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berikut ini beberapa contoh kasus sebagai penjelasan aplikatif dari kaidah ini :
- Dalam sebagian ayat dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan hidayah, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. [Asy-Syûrâ/42:52]
Namun, di ayat lain disebutkan bahwa Beliau tidak bisa memberikan hidayah. Yaitu dalam firman-Nya :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, akan tetapi Allah Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki [Al-Qashash/28 : 56]
Untuk menggabungkan kedua ayat tersebut, maka kita katakan bahwa hidayah yang dimaksudkan pada ayat pertama adalah hidayah (petunjuk) untuk mengarahkan manusia menuju jalan kebenaran. Ini yang bisa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan hidayah yang dimaksudkan pada ayat kedua adalah petunjuk dalam arti taufiq supaya seseorang mau menerima kebenaran. Hidayah ini semata-mata menjadi hak Allâh Azza wa Jalla , tidak dimiliki oleh Nabi n maupun orang lain.[3]
- Disebutkan dalam hadits Busrah binti Shafwân bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu[4]
Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu. Dalam hadits Thalq bin ‘Ali Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia wajib berwudhu, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
لاَ إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ
Tidak, sesungguhnya kemaluan itu bagian anggota tubuhmu.[5]
Maka dua dalil tersebut digabungkan dengan penjelasan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu menyentuh tanpa penghalang[6] dan dilakukan dengan syahwat. Adapun jika tidak terpenuhi dua syarat tersebut maka menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu.
Menyentuh secara langsung tanpa penghalang membatalkan wudhu berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallah anhu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَفْضَى بِيَدِهِ إِلَى ذَكَرِهِ، لَيْسَ دُوْنَهَا سِتْرٌ، فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوْءُ
Barangsiapa menyentuh kemaluannya dengan tangannya, sedangkan antara sentuhan dan kemaluannya tidak dihalangi sesuatu pun, maka ia wajib berwudhu.”[7]
Adapun dipersyaratkan adanya syahwat dikarenakan menyentuh kemaluan tanpa syahwat adalah seperti menyentuh tangan, hidung, dan semisalnya yang tentu saja tidak membatalkan wudhu, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Thalq bin ‘Ali di atas.[8]
Inilah pendapat yang yang rajih, karena mengamalkan semua dalil yang ada, tanpa meninggalkan satu dalil pun, tanpa naskh ataupun tarjih. Inilah yang lebih utama karena mengkompromikan dalil-dalil yang ada itu lebih utama selama masih memungkinkan.
- Pendapat yang rajah (kuat), orang-orang kafir itu najis ditinjau dari i’tiqadnya (keyakinannya) bukan dari sisi lahiriyahnya. Pendapat ini diambil karena menggabungkan firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Wahai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. [At Taubah/9:28]
Dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka. [Al-Mâidah/5:5]
Ayat pertama di atas menunjukkan bahwa orang-orang kafir itu najis, sedangkan ayat kedua menunjukkan mereka tidak najis karena makanan (sembelihan) mereka halal bagi kita, dan wanita-wanita mereka pun boleh dinikahi. Oleh karena itu, dalil yang menunjukkan kenajisan orang kafir dimaknai dengan kenajisan dari sisi keyakinan. Adapun dalil yang menunjukkan ketidak najisan mereka dimaknai dari sisi lahiriyah mereka. Dengan demikian kedua dalil tersebut bisa kompromikan, tanpa meninggalkan sebagiannya.[9]
Demikian pembahasan kaidah ini, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.[10]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih, di mana tidak ditemukan sarana untuk merajihkan (menguatkan) salah satu dari dua dalil tersebut, maka sikap kita adalah tawaqquf. Namun tidak ada contoh yang shahih dalam kasus seperti ini. (Lihat al-Ushûl min ‘Ilmi al-Ushûl, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1424 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, hlm. 77).
[2] Lihat penjelasan berkaitan dengan hal ini dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, I/281-282.
[3] Lihat al-Ushûl min ‘Ilmi al-Ushûl, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, hlm. 75.
[4] HR. Abu Dawud no. 181, an-Nasa-i no. 163, at-Tirmidzi no. 82 ia berkata, “Ini hadits hasan shahih.” Ibnu Majah no. 4479. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ’ al-Ghalîl 1/150.
[5] HR. Abu Dawud no. 182, at-Tirmidzi no. 85, an-Nasa-i no. 165, Ibnu Majah no. 483. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud 1/334.
[6] Lihat as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, I/278.
[7] HR. Ahmad 2/333, Ibnu Hibban 1118, ad_daruquthni 1/147, al-Baihaqi 2/131. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Abdil Bar, dan An Nawawi. (Lihat as-Syarh al-Mumti’ 1/279).
[8] Lihat penjelasan tentang hal ini dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, I/282.
[9] Lihat penjelasan tentang hal ini dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, I/448.
[10] Diangkat dari Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, kaidah ke-20.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5799-kaidah-ke65-mengamalkan-dua-dalil-sekaligus-lebih-utama.html